Minggu, 28 Agustus 2016

Dicap Pemberontak, Haji Revolusioner Ditakuti Belanda



Sir Thomas Standford Raffles, dalam bukunya yang terkenal “History of Java” menulis: “Setiap orang Arab dari Makkah, begitu pula orang Jawa, yang kembali menunaikan ibadah haji disana, diterima sebagai orang suci di Jawa, dan sikap cepat percaya dari kalangan orang awam sudah sedemikian rupa, sehingga mereka sangat sering menghubungkan berbagai kekuatan dialami kepada pribadi-pribadi yang demikian. Sehingga tidak sulit bagi mereka membangkitkan negeri untuk memberontak.”

Selanjutnya, Raffles menambahkan, “Para ulama Muhammedan hampir tanpa terkecuali ditemukan paling aktif dalam pemberontakan. Banyak dari mereka, umumnya keturunan campuran Arab dan orang pribumi, pindah dari satu negeri ke negeri lain di pulau-pulau bagian timur dan umumnya karena intrik-intrik dan desakan merekalah para pemimpin pribumi terhasut untuk menyerang atau membunuh orang-orang Eropa, sebagai orang kafir dan pengacau.”

Catatan Raffles itu menunjukkan, betapa ia amat takut pada orang yang bertitel haji, yakni orang-orang yang telah digembleng di Maakkah, memiliki charisma, memiliki inspirasi (akibat interaksi dengan berbagai bangsa Muslim) untuk memberontak.

Dalam perspektif Raffles, yakni perspektif kolonialis, orang-orang itu mesti diwaspadai, sebab mereka potensial menyebarkan bibit-bibit pemberontakan kekuasaan penuh atas Hindia Timur 1811-1816.

Saking waspadanya, Raffles menyetujui kebijakan politik yang melarang putra-putra Bupati yang sudah menunaikan ibadah haji di Makkah, untuk menduduki jabatan administratif. Dari sini tampak, rupanya Raffles paham, bahwa pengaruh Internasionalisme Haji, mampu merubuhkan rencana-rencana kolinialisme Barat, yang saat itu tumbuh dan menguasai nyaris semua dunia Timur.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Jawa dan pindah ke Sumatera Barat, Raffles segera memihak golongan adat dalam konflik antara mereka dengan para ulama – yang disebutnya sebagai Padri, sebutan yang kerap dipakai di India untuk menjuluki para pastor Katolik dan pemimpin Islam, dikarenakan memakai jubah putih panjang.

Raffles adalah satu dari sekian banyak orang asing yang datang dari Barat, dengan maksud-maksud kolonialismenya, berupaya memahami karakteristik orang Islam pada bangsa-bangsa yang menjadi jajahannya. Orang yang sudah berhaji perlu diwaspadai dan memiliki etos yang kuat untuk melawan setiap bentuk penjajahan.

Sepeninggal Raffles, ada kecenderungan baha masih perlu dimanfaatkan untuk mengelelola administrasi Belanda. Snouck Hurgronje, misalnya, ia amat ahli dalam mengamati perilaku orang Islam. Bahkan ia pernah menyatakan “masuk Islam”dan berhaji, namun dibalik itu ada maksud tersembunyi, yakni menghancurkan kalangan Islam dari dalam.

Mengapa orang-orang Islam setelah menunaikan ibadah haji menjadi begitu kritis kepada penjajah? Karena mereka berinteraksi dengan bangsa-bangsa Muslim lain yang saat itu nyaris semua jajahan Barat. Adanya gerakan Pan-Islamisme, sebuah gerakan yang bertujuan untuk menuju kemerdekaan negara-negara Muslim, terbebaskan dari belenggu penjajahan Barat. Gerakan yang bersifat internasional (setidaknya dari sudut penyebaran ide-ide) ini sangat ditakuti oleh orang-orang semacam Raffles. 

Mukim di Makkah

Sejarah mencatat, tak sedikit orang Indonesia yang mukim selama beberapa tahun di Tanah suci Makkah. Diantara semua bangsa yang mukim di Makkah, Orang “Jawah” (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar jamaah haji.

Selain karena menjalankan syariat bagi yang mampu, perjalanan haji menjadi kawah candradimuka para raja Jawa dan ulama Nusantara untuk mencari ilmu dan legitimasi politik. Bahkan sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah setelah bahasa Arab.

Tak sedikit dari mereka yang memperdalam ilmu-ilmu Islam, baik Fiqih, tasawuf, tarekat, metafisika hingga “ilmu ghaib” di Makkah maupun Madinah. Termasuk paham Wudhut al-Wujud. Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh pengaruh India, namun kedua kota suci itu (Makkah dan Madinah) tetap berpengaruh bagi mereka. Sebut saja Syeikh Yusuf Makassar yang ke Tanah Suci pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670.

Ketika kompeni Belanda campur tangan dalam urusan internal Banten dan membantu putra Sultan Ageng (Sultan Haji) untuk menyingkirkan ayahnya, lalu Yusuf Makassar membawa pengikutnya ke gunung dan memimpin perang gerilya melawan Belanda selama dua tahun, sampai ia tertangkap dan dibuang ke Selon (Sri Langka).

Ulama lain yang juga lama mukim dan memperdalam ilmu-ilmu agama (Islam) di Makkah dan Madinah adalah ‘Abd Al Rauf Singkil, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. Seperti diketahui, ‘Abd Al Rauf Singkil dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia. Beliau pula yang menerjemahkan dan menyunting tafsir Jalalain dalam bahasa Melayu.

Pada masanya, Ibrahim al-Kurani (Guru Yusuf Makassar) adalah ulama besar di Madinah, dan murid-muridnya datang dari seluruh dunia. Melalui muridnya, ia mempengaruhi gerakan reformis pada abad ke-18 di berbagai negara. Pada tahun 1722, ‘Abd al-Samad al-Falimbani, seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu Jaka. Isinya, sebuah seruan untuk berjihad melawan penjajah Belanda.

Snouch Hurgonje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka, mengenai kolonialisme Belanda, Inggris, dan Perancis atas bangsa-bangsa di negeri berpenduduk muslim. ketika itu para haji hidup beberapa bulan dalam suasana anti kolonial.

Pemberontakan petani Banten tahun 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok ketika itu), jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokoh Islam ketika berada di Makkah. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termaz, dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah (mufti) pada abad ke-19 dan awal abad 20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di Tanah Air. Terbukti perkembangan politik di Indonesia diwarnai oleh mereka, sepulang daru Makkah.

Dengan demikian, perjalanan haji saat itu berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan sumber inspirasi anti kolonial. Dalam konteks sekarang, haji telah dipersempit menjadi ibadah ritual semata, bahkan sekedar mengejar status sosial seseorang. Padahal haji dalam sejarahnya selalu menjadi motor penggerak proses Islamisasi, pemersatu umat Islam di Indonesia, bahkan dunia. (desmoreno)

Prabu Siliwangi, Sejarah yang Bercampur Mitos dan Mistik


BENARKAH masyarakat adat Sunda meyakini Prabu Siliwangi sebagai sosok yang dikaitkan dengan mitos dan penuh mistik? Sampai-sampai Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengajak masyarakat untuk menyebut nama Prabu Siliwangi sebanyak tiga kali, saat melintasi Jalan Tol Cikopo- Palimanan. Mengingat jalan tol tersebut sering terjadi kecelakaan hingga berujung maut.
 
“Jika ingin selamat di Jalan Tol Cikopo-Palimanan, selain berhati-hati dan tidak mengendarai kendaraan di atas kecepatan maksimal, dan yang paling utama harus menyebut nama Prabu Siliwangi sebanyak tiga kali,” ungkap Dedi.

Bahkan Bupati Gianyar Provinsi Bali, Anak Agung Gede Agung Barata saat  Festival Purwakarta Gianyar di Alun-alun Purwakarta (14/3) menyebut Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai Prabu Siliwangi masa kini.

Ulama kharismatik asal Jawa Barat, KH Muhammad Husni Thamrin, menepis anggapan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang beragama Hindu. Sebagai orang Sunda yang tahu sejarah Jawa Barat, Kiai Husni Thamrin menegaskan Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Subang Larang, saksinya adalah ulama besar Syekh Quro yang makamnya di Karawang.

“Dari hasil pernikahannya, pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang itu dikaruniai dua orang anak, yang bernama Kiansantang dan Rara Santang. Rara Santang kemudian menikah dengan Syarif Hidayatullah yang dikenal Sunan Gunung Jati. Karena itu, pendapat yang mengatakan, mereka keturunan Hindu itu sangat keliru,” ungkap Kiai Husni Thamrin di hadapan masyarakat Purwakarta dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, Sabtu (19/12) lalu.

Menurut Pimpinan Majelis Al Ihya Bogor ini, orang Sunda di Purwakarta harus angkat bicara, untuk menegaskan bahwa mereka orang Islam. Ia berpesan umat Islam Purwakarta agar tidak diam. Purwakarta harus dipelihara akidah dan iman Islamnya, sebagaima identitas Purwakarta sebagai kota Santri. Purwakarta, menurutnya, harus menjadi benteng ahlusunnah wal jamaah.

“Lihat keadaan sekeliling kita saat ini, kita harus cintai Islam, kita peluk Islam dengan erat, tetapi Islam abangan, Islam kejawen, Islam budi luhur, itu harus dihilangkan,” jelasnya.

Hal senada juga dikatakan ulama asal Banten, KH Fachrurrozi yang mengaku sebagai keturunan dari Raja Padjajaran Prabu Siliwangi ke-21 dari Nyi Mas Ratu Rara Santang.

“Dahulu keluarga saya, nenek moyang saya, Kian Santang dengan orang tuanya Prabu Siliwangi berjuang supaya masyarakat pada masuk Islam,” ujar Kyai Fachrurrozi, dalam aksi yang digelar di Gedung Sate Bandung sebelumnya (7/12).

Dikatakan KH Fachrurrozi, Dedi Mulyadi ingin menyesatkan saudara-saudara muslim di Purwakarta, dengan mencatut nama Prabu Siliwangi. Dedi mengatakan, jika ingin selamat saat melewati jalan tol Cipali harus menyebut nama Prabu Siliwangi sebanyak tiga kali.

Mitos Prabu Siliwangi

Siapakah sebenarnya Prabu Siliwangi yang diyakini masyarakat Sunda selama ini? Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Padjajaran.

Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit. Kitab tersebut menceritakan perjalanan Prabu Siliwangi dimulai dari ayahnya, Prabu Anggararang, Raja Kerajaan Gajah.
Setelah Prabu Anggararang merasa puteranya layak memangku jabatan raja, akhirnya kerajaan diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum bergelar Siliwangi).

Mengenai nama Siliwangi, dijelaskan bahwa nama tersebut adalah gelar setelah Pangeran Pamanah Rasa masuk Islam sebagai salah satu syarat mempersunting murid Syaikh Quro, yakni Nyi Ratu Subanglarang.

Dari isteri ketiga ini, kemudian melahirkan Kian Santang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon dan Rara Santang, ibunda Sunan Gunung Jati.
Bersamaan dengan luasnya wilayah Gajah, kemudian Prabu Siliwangi menciptakan senjata Kujang, berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di tangkainya.

Senjata tersebut kemudian menjadi lambang Jawa Barat. Nama kerajaan Gajah pun diganti menjadi kerajaan Padjajaran. Ihwal nama itu dimaksudkan untuk menjajarkan (menggabung) kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.
Kisah dalam Kitab Suwasit diakhiri dengan mokhsa (menghilang) dan dipindahkannya kerajaan Pajajaran ke alam Gaib bersama Harimau Putih.
Pada kitab yang sudah diterbitkan oleh Jelajah Nusa, dikisahkan setelah menjadi kerajaan Gajah, Pangeran Pamanah Rasa melakukan pengembaraan hingga di sebuah hutan di wilayah Majalengka.

Ketika hendak meminum air dari curug (air terjun), Pangeran Pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih sehingga terjadi pertarungan hebat hingga setengah hari. Namun oleh Pangeran Pamanah Rasa, siluman Harimau itu bisa dikalahkan dan tunduk padanya.

Kitab yang diterbitkan dengan sambutan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan itu kemudian mengisahkan bahwa Harimau Putih berubah wujud menjadi manusia untuk mendampingi pengembaraan Pangeran Pamanah Rasa hingga menaklukkan kerajaan Galuh dengan bantuan Harimauu Putih. Bahkan disebutkan, ketika terjadi penyerangan oleh kerajaan Mongol (mungkin masa Kubilai Khan), kerajaan Gajah dibantu pasukan Harimau Putih.

Tentunya, meskipun kental dengan unsur mitos, kitab tersebut merupakan sumber sejarah yang sangat penting. Hilangnya Prabu Siliwangi beserta kerajaannya sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sehingga banyak beredar cerita-cerita Moksanya Prabu Siliwangi.

Yaya Suryadarma, seorang Muslim bersuku Sunda yang juga Ketua Jaringan Jurnalis Indonesia (JJI) mengaku cerita sejarah yang mengisahkan Prabu Siliwangi telah bercampur dengan mitos.

“Saya sebagai orang Sunda yang Muslim menganggap kisah Prabu Siliwangi ada unsur takhayul atau mitosnya. Legenda tetap legenda. Namun, harus diakui, mitos itu seolah menjadi lumrah bagi masyarakat Sunda. Tentu, antara sejarah yang ilmiah dan mitos harus dipisahkan,” terangnya.

Yang pasti, Yaya sebagai Muslim, tidak menyakini atau pun memohon pada kekuatan lain seperti Prabu Siliwangi, selain kepada Allah SWT. “Hanya kepada Allah, tempat saya berlindung, meminta dan mohon keselamatan. Bukan  kepada Prabu Siliwangi,” ujar dia. [Desmoreno]