Sir
Thomas Standford Raffles, dalam bukunya yang terkenal “History of Java”
menulis: “Setiap orang Arab dari Makkah, begitu pula orang Jawa, yang kembali
menunaikan ibadah haji disana, diterima sebagai orang suci di Jawa, dan sikap
cepat percaya dari kalangan orang awam sudah sedemikian rupa, sehingga mereka
sangat sering menghubungkan berbagai kekuatan dialami kepada pribadi-pribadi
yang demikian. Sehingga tidak sulit bagi mereka membangkitkan negeri untuk
memberontak.”
Selanjutnya,
Raffles menambahkan, “Para ulama Muhammedan hampir tanpa terkecuali ditemukan
paling aktif dalam pemberontakan. Banyak dari mereka, umumnya keturunan
campuran Arab dan orang pribumi, pindah dari satu negeri ke negeri lain di
pulau-pulau bagian timur dan umumnya karena intrik-intrik dan desakan merekalah
para pemimpin pribumi terhasut untuk menyerang atau membunuh orang-orang Eropa,
sebagai orang kafir dan pengacau.”
Catatan
Raffles itu menunjukkan, betapa ia amat takut pada orang yang bertitel haji,
yakni orang-orang yang telah digembleng di Maakkah, memiliki charisma, memiliki
inspirasi (akibat interaksi dengan berbagai bangsa Muslim) untuk memberontak.
Dalam
perspektif Raffles, yakni perspektif kolonialis, orang-orang itu mesti
diwaspadai, sebab mereka potensial menyebarkan bibit-bibit pemberontakan
kekuasaan penuh atas Hindia Timur 1811-1816.
Saking
waspadanya, Raffles menyetujui kebijakan politik yang melarang putra-putra
Bupati yang sudah menunaikan ibadah haji di Makkah, untuk menduduki jabatan
administratif. Dari sini tampak, rupanya Raffles paham, bahwa pengaruh
Internasionalisme Haji, mampu merubuhkan rencana-rencana kolinialisme Barat,
yang saat itu tumbuh dan menguasai nyaris semua dunia Timur.
Setelah
menyelesaikan tugasnya di Jawa dan pindah ke Sumatera Barat, Raffles segera
memihak golongan adat dalam konflik antara mereka dengan para ulama – yang
disebutnya sebagai Padri, sebutan yang kerap dipakai di India untuk menjuluki
para pastor Katolik dan pemimpin Islam, dikarenakan memakai jubah putih
panjang.
Raffles
adalah satu dari sekian banyak orang asing yang datang dari Barat, dengan
maksud-maksud kolonialismenya, berupaya memahami karakteristik orang Islam pada
bangsa-bangsa yang menjadi jajahannya. Orang yang sudah berhaji perlu
diwaspadai dan memiliki etos yang kuat untuk melawan setiap bentuk penjajahan.
Sepeninggal
Raffles, ada kecenderungan baha masih perlu dimanfaatkan untuk mengelelola
administrasi Belanda. Snouck Hurgronje, misalnya, ia amat ahli dalam mengamati
perilaku orang Islam. Bahkan ia pernah menyatakan “masuk Islam”dan berhaji,
namun dibalik itu ada maksud tersembunyi, yakni menghancurkan kalangan Islam
dari dalam.
Mengapa
orang-orang Islam setelah menunaikan ibadah haji menjadi begitu kritis kepada
penjajah? Karena mereka berinteraksi dengan bangsa-bangsa Muslim lain yang saat
itu nyaris semua jajahan Barat. Adanya gerakan Pan-Islamisme, sebuah gerakan
yang bertujuan untuk menuju kemerdekaan negara-negara Muslim, terbebaskan dari
belenggu penjajahan Barat. Gerakan yang bersifat internasional (setidaknya dari
sudut penyebaran ide-ide) ini sangat ditakuti oleh orang-orang semacam Raffles.
Mukim di Makkah
Sejarah
mencatat, tak sedikit orang Indonesia yang mukim selama beberapa tahun di Tanah
suci Makkah. Diantara semua bangsa yang mukim di Makkah, Orang “Jawah” (Asia
Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar jamaah haji.
Selain
karena menjalankan syariat bagi yang mampu, perjalanan haji menjadi kawah
candradimuka para raja Jawa dan ulama Nusantara untuk mencari ilmu dan
legitimasi politik. Bahkan sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa
kedua di Makkah setelah bahasa Arab.
Tak
sedikit dari mereka yang memperdalam ilmu-ilmu Islam, baik Fiqih, tasawuf,
tarekat, metafisika hingga “ilmu ghaib” di Makkah maupun Madinah. Termasuk
paham Wudhut al-Wujud. Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai
oleh pengaruh India, namun kedua kota suci itu (Makkah dan Madinah) tetap berpengaruh
bagi mereka. Sebut saja Syeikh Yusuf Makassar yang ke Tanah Suci pada tahun
1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670.
Ketika
kompeni Belanda campur tangan dalam urusan internal Banten dan membantu putra
Sultan Ageng (Sultan Haji) untuk menyingkirkan ayahnya, lalu Yusuf Makassar
membawa pengikutnya ke gunung dan memimpin perang gerilya melawan Belanda
selama dua tahun, sampai ia tertangkap dan dibuang ke Selon (Sri Langka).
Ulama
lain yang juga lama mukim dan memperdalam ilmu-ilmu agama (Islam) di Makkah dan
Madinah adalah ‘Abd Al Rauf Singkil, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di
Aceh. Seperti diketahui, ‘Abd Al Rauf Singkil dikenal sebagai pembawa tarekat
Syattariyah ke Indonesia. Beliau pula yang menerjemahkan dan menyunting tafsir
Jalalain dalam bahasa Melayu.
Pada
masanya, Ibrahim al-Kurani (Guru Yusuf Makassar) adalah ulama besar di Madinah,
dan murid-muridnya datang dari seluruh dunia. Melalui muridnya, ia mempengaruhi
gerakan reformis pada abad ke-18 di berbagai negara. Pada tahun 1722, ‘Abd
al-Samad al-Falimbani, seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah
menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu Jaka. Isinya,
sebuah seruan untuk berjihad melawan penjajah Belanda.
Snouch
Hurgonje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan
perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka, mengenai
kolonialisme Belanda, Inggris, dan Perancis atas bangsa-bangsa di negeri
berpenduduk muslim. ketika itu para haji hidup beberapa bulan dalam suasana
anti kolonial.
Pemberontakan
petani Banten tahun 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang
menduduki Lombok ketika itu), jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokoh Islam
ketika berada di Makkah. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termaz, dan Ahmad
Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah (mufti) pada abad ke-19 dan awal
abad 20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang
kemudian berperan penting di Tanah Air. Terbukti perkembangan politik di
Indonesia diwarnai oleh mereka, sepulang daru Makkah.
Dengan
demikian, perjalanan haji saat itu berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan
sumber inspirasi anti kolonial. Dalam konteks sekarang, haji telah dipersempit
menjadi ibadah ritual semata, bahkan sekedar mengejar status sosial seseorang.
Padahal haji dalam sejarahnya selalu menjadi motor penggerak proses Islamisasi,
pemersatu umat Islam di Indonesia, bahkan dunia. (desmoreno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar