Kain poleng -- kain kotak-kotak hitam putih –
yang membalut pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan maupun di beberapa taman
di Purwakarta mengesankan kota ini seperti berada di Pulau Dewata.
Pertanyaannya, Purwakarta ini Sunda atau Bali?
Setiap
daerah memiliki motto, ikon, karakter dan kekhasannya sendiri. Sejak Purwakarta
dipimpin oleh Dedi Mulyadi, penataan kota Purwakarta disulap seperti berada di
Pulau Dewata. Padahal sebelumnya, Purwakarta dikenal sebagai Kota Tasbih.
Ketika
ditanya, sebagian besar masyarakat Purwakarta tidak mengetahui makna dan
filosofi kain kotak hitam-putih atau yang disebut kain poleng yang menjadi ciri
khas Bali. Di daerah asalnya, banyak bangunan dan tempat yang diberikan aksen
kain poleng. Sebut saja seperti di Pantai Sanur, Pantai Kuta, Istana Tampak
Siring, Pertunjukkan Seni Barong, Pasar Tradisional Sukowati, dan sebagainya.
“Saya
tidak tahu, itu kain apa. Saya juga tidak tahu makna dan filosofi kain yang
dililitkan pada pohon itu. Kebanyakan masyarakat menilai, kain kotak-kotak
hitam putih itu hanya sebatas seni dan penghias kota saja,” kata Wahyu, salah
seorang warga Purwakarta yang bekerja di konveksi.
Di
Bali, penggunaan kain poleng biasa kita jumpai untuk payung, umbul-umbul, tugu,
patung, kentongan. Bahkan pohon yang ada di pura pun banyak dililit dengan kain
poleng. Kain poleng juga banyak
digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di
hotel. Misalnya untuk meja makan dan dekorasi ruangan.
Filosofi
Kain Poleng
Perlu
diketahui, kain poleng adalah kain yang bercorak kotak-kotak persegi dengan
warna hitam-putih seperti papan catur. Bagi masyarakat Bali, kain poleng adalah
bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali. Itulah sebabnya, kain poleng
menjadi salah satu icon ciri khas Bali, dan digunakan untuk keperluan religius
yang sifatnya sakral.
Menurut
kepercayaan masyarakat Hindu Bali, di setiap tempat ada penunggunya. Itulah
sebabnya, warga setempat meletakkan kain poleng pada beberapa bangunan dan
pohon-pohon sebagai penolak bala dan terhindar dari pengaruh-pengaruh buruk, penyeimbang
antara negatif dan positif. Kain poleng pun dipercaya melindungi masyarakat
Bali.
“Tapi
ini Purwakarta, bukan Bali. Seharusnya Purwakarta punya karakter dan
kekhasannya sendiri. Dulu Purwakarta dikenal sebagai Kota Tasbih & Kota
Santri. Sekarang entah kemana. Mau dibawa kemana Purwakarta?” ungkap Wahyu.
Wahyu menyayangkan jika sebelumnya Purwakarta selalu diisi dengan keagamaan, seperti Tabligh Akbar, kini lebih mengedepankan agenda kebudayaan. “Bahkan, yang saya ketahui, ada himbauan dari Bupati agar menggelapkan rumah warga setiap bulan purnama. Tapi masyarakat mengabaikan himbauan itu,” ujarnya. (Desastian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar