Menengok pada sejarah, Sumatra
Barat pada abad ke 18 Masehi pernah terjadi konflik horizontal antara kaum adat
dan kaum Paderi. Kemudian konflik tersebut semakin memuncak hingga kedatangan bangsa
asing (Belanda) yang membuat situasi semakin keruh. Akankah Perang Padri
terulang?
Ada beberapa ritual-ritual dan
adat yang dikembangkan Dedi Mulyadi yang diklaimnya sebagai adat Sunda. Selain
banyak membangun patung-patung di sudut kota, membungkus pohon dan benda-benda
lain dengan kain poleng (corak kotak-kotak hitam putih), Dedi juga mensakralkan benda-benda seperti
kereta kencana dengan cara memberikan kemenyan dan diarak setahun sekali.
Selanjutnya,
Dedi juga dianggap telah menikah dengan penguasa Pantai Selatan Nyi Loro Kidul.
Termasuk banyaknya lukisan Nyi Loro Kidul di setiap dinding ruangan Pemerintah
Daerah Puwakarta. Padahal sebelumnya, tidak pernah terpampang. Kemudian
penilaian, Bupati hendak menyingkirkan penggunaan 'Assalamualaikum “ dengan
Sampurasun.
Ulama
juga mengecam arak-arakan kereta kencana di setiap festival-festival di
Purwakarta, mulai dari Festival Tumpeng, Cetok, Bebegig, hingga Topeng. Bahkan
dibawah kereta kencana tersebut diberikan sesajen. Belum lagi, ketika Dedi
secara terangan-terangan mengatakan, untuk menghindari kecelakaan di jalan Tol Pangimanan, sebutlah
nama Prabu Siliwangi sebanyak tiga kali.
Kontroversial
Dedi lainnya adalah Dedi berkeyakinan, bahwa dahulu kala Raja Sunda itu orang Hindu. Menurut Dedi, bukan
Purwakarta yang mengikuti Bali, tapi Bali lah yang mengikuti Purwakarta.
Tataran budaya dan ajaran Hindu yang hidup di Tanah Jawa inilah, yang akan
dihidupkan kembali oleh Dedi Mulyadi di
Purwakarta.”
Kalangan
ulama juga tidak setuju dengan gapura-gapura yang banyak dibangun Dedi. Gapura
itu dianggap menyerupai gapura Hindu,
bukan gapura khas Sunda. Belum lagi Janur Penjor (terbuat dari daun lontar)
yang digunakan umat Hindu saat ritual
Galungan.
Peraturan Bupati No 70 Tahun 2015 pun dikecam
ulama. Seperti diketahui, peraturan tersebut mewajibkan masyarakat agar
memadamkan listrik di luar rumah rumah pada saat bulan purnama. Setiap malam
bulan purnama lampu harus dipadamkan, sejak pukul 18.00 hingga 21.00 WIB .
Satu hal lagi, Dedi Mulyadi kerap
memakai ikat kepala ala Hindu. Menurut ulama, ikat kepala ala Bupati Purwakarta
bukanlah ikat kepala adat Sunda, tapi Hindu. Termasuk bunga kamboja yang
dilekatkan pada telinga sang Bupati.
Perang Padri
Perang Padri adalah
peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan
sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Sebab
Awal Terjadinya Perang Padri, awalnya disebabkan pertentangan dalam masalah
agama antara golongan Adat dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk
merebut pengaruh di masyarakat.
Istilah Padri berasal dari
kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para
pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat
memakai pakaian hitam. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut
gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu
orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui
pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Tujuan Gerakan Padri adalah
memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan
ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini
mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari
kaum adat.
Kaum adat adalah
orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat di daerahnya sehingga
mereka tidak berkenan dengan pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama
Islam yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni, tetapi telah terkontaminasi
atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat. Setelah kaum Adat mengalami
kekalahan, mereka meminta bantuan kepada Belanda yang akhirya konflik ini
berkembang menjadi konflik antara kaum Padri dengan Belanda.
Periodesasi
Gerakan Padri
Secara
umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu: Periode 1803 – 1821 (Perang
antara Kaum Padri Melawan kaum Adat) Sebab terjadinya Perang. Pada tahun 1803,
Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah,
yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H.
Piabang dari Tanah Datar.
Di Saudi Arabia mereka
memperoleh pengaruh gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak mengembalikan ajaran
Islam secara murni berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist ini menamakan dirinya golongan
Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan
munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum
Adat karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang
dimaksud seperti perjudian, sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta
longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini
semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata kaum Padri ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam
yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat
dan golongan bangsawan. Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula
akan diselesaikan secara damai, tetapi berujung pada selisih pendapat. Akhirnya
Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara fisik sehingga terjadilah perang saudara yang
bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Korban pun berjatuhan
di kedua belah pihak.
Dalam perang itu, kaum
Padri mendapat kemenangan di mana-mana. Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat
makin terdesak karena keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar,
sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta
bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di
Sumatera Barat).
Karena Inggris segera
menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan
kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh
Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda
yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke
daerah tersebut. (Desastian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar