Sabtu, 26 Desember 2015

Revolusi Budaya: Belajar dari Perang Padri (1803-1838)



Menengok pada sejarah, Sumatra Barat pada abad ke 18 Masehi pernah terjadi konflik horizontal antara kaum adat dan kaum Paderi. Kemudian konflik tersebut semakin memuncak hingga kedatangan bangsa asing (Belanda) yang membuat situasi semakin keruh. Akankah Perang Padri terulang? 

      
Seperti diberitakan sebelumnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dan kalangan ulama di Jawa Barat mengingatkan Bupati Purwakarta agar tidak menjurus pada perbuatan syirik. Bahkan, sejak menjabat sebagai Bupati di Purwakarta, Dedi Mulyadi dinilai ingin menghidupkan kembali ajaran Sunda Wiwitan.

       Ada beberapa ritual-ritual dan adat yang dikembangkan Dedi Mulyadi yang diklaimnya sebagai adat Sunda. Selain banyak membangun patung-patung di sudut kota, membungkus pohon dan benda-benda lain dengan kain poleng (corak kotak-kotak hitam putih),  Dedi juga mensakralkan benda-benda seperti kereta kencana dengan cara memberikan kemenyan dan diarak setahun sekali.

       Selanjutnya, Dedi juga dianggap telah menikah dengan penguasa Pantai Selatan Nyi Loro Kidul. Termasuk banyaknya lukisan Nyi Loro Kidul di setiap dinding ruangan Pemerintah Daerah Puwakarta. Padahal sebelumnya, tidak pernah terpampang. Kemudian penilaian, Bupati hendak menyingkirkan penggunaan 'Assalamualaikum “ dengan Sampurasun. 
   
       Ulama juga mengecam arak-arakan kereta kencana di setiap festival-festival di Purwakarta, mulai dari Festival Tumpeng, Cetok, Bebegig, hingga Topeng. Bahkan dibawah kereta kencana tersebut diberikan sesajen. Belum lagi, ketika Dedi secara terangan-terangan mengatakan, untuk menghindari  kecelakaan di jalan Tol Pangimanan, sebutlah nama Prabu Siliwangi sebanyak tiga kali.

       Kontroversial Dedi lainnya adalah Dedi berkeyakinan, bahwa dahulu kala Raja Sunda  itu orang Hindu. Menurut Dedi, bukan Purwakarta yang mengikuti Bali, tapi Bali lah yang mengikuti Purwakarta. Tataran budaya dan ajaran Hindu yang hidup di Tanah Jawa inilah, yang akan dihidupkan  kembali oleh Dedi Mulyadi di Purwakarta.”

       Kalangan ulama juga tidak setuju dengan gapura-gapura yang banyak dibangun Dedi. Gapura itu dianggap menyerupai  gapura Hindu, bukan gapura khas Sunda. Belum lagi Janur Penjor (terbuat dari daun lontar) yang digunakan umat Hindu saat  ritual Galungan.

       Peraturan Bupati No 70 Tahun 2015 pun dikecam ulama. Seperti diketahui, peraturan tersebut mewajibkan masyarakat agar memadamkan listrik di luar rumah rumah pada saat bulan purnama. Setiap malam bulan purnama lampu harus dipadamkan, sejak pukul 18.00 hingga 21.00 WIB .

       Satu hal lagi, Dedi Mulyadi kerap memakai ikat kepala ala Hindu. Menurut ulama, ikat kepala ala Bupati Purwakarta bukanlah ikat kepala adat Sunda, tapi Hindu. Termasuk bunga kamboja yang dilekatkan pada telinga sang Bupati.

Perang Padri

       Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Sebab Awal Terjadinya Perang Padri, awalnya disebabkan pertentangan dalam masalah agama antara golongan Adat dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk merebut pengaruh di masyarakat.
 
       Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.

       Tujuan Gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat.

       Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat di daerahnya sehingga mereka tidak berkenan dengan pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni, tetapi telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat. Setelah kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan kepada Belanda yang akhirya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri dengan Belanda.

Periodesasi Gerakan Padri
       
 
       Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu: Periode 1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat) Sebab terjadinya Perang. Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah Datar.

       Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak mengembalikan ajaran Islam secara murni berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist ini menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).

       Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti perjudian, sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.

       Ternyata kaum Padri  ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan. Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi berujung pada selisih pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara fisik  sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak.

       Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana. Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesak karena keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat).

       Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut. (Desastian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar