Diperlukan
upaya yang serius dan kesabaran dari orangtua, juga suasana yang kondusif dari
lingkungan
Shalat
Dzuhur di sekolah bukan hal baru bagi Huda. Setiap hari ia menunaikan kewajiban
itu bersama guru dan teman-temannya di sekolah. Namun, lain halnya di rumah.
Hampir empat kali sehari ibunya harus bersitegang dulu dengannya agar Huda mau shalat.
Apalagi kalau tiba waktu shalat shubuh, nyaris dapat dipastikan, Huda shalat
kesiangan karena bangun kesiangan dan ngambek.
Ibu Huda
sebenarnya sudah berulangkali mengajak Huda shalat dengan cara lemah lembut.
Namun, Huda pun berkali-kali membuat ibunya hilang kesabaran setiap kali
mengingatkannya shalat.
Kasus Huda
sebenarnya bukan masalah baru bagi orangtua, terutama para ibu yang lebih
sering mendampingi anak-anak di rumah.
Dengan memiliki anak yang rajin mendirikan shalat, apalagi bisa mencintai shalat
maka orangtua bagai sudah mendapat separuh jaminan akan kebahagiaan hidup si
anak di dunia dan di akhirat. Tak lain karena shalatlah pengingat bagi
seseorang di keadaan sempit ataupun lapang, solusi bagi setiap masalah,
pencegah perbuatan keji dan mungkar; disamping hukumnya yang wajib untuk
ditegakkan setiap Muslim.
Namun,
bagaimana dengan anak-anak yang kerap bersikap seperti Huda? Apa yang bisa kita
lakukan sebagai orangtua?
Pertama, hal yang harus dilakukan adalah
pembagian tugas yang jelas diantara orangtua. Membiasakan anak shalat bukan
hanya tugas seorang ibu. Yang lebih pas untuk membiasakan anak shalat sejatinya
adalah seorang ayah. Seorang ayah memiliki wibawa untuk menetapkan aturan yang
berlaku di rumah, termasuk aturan mendirikan shalat. Dengan wibawa ayah, anak
akan lebih mematuhi perintah shalat secara disiplin.
Terlebih
lagi yang akan dihisab di hari kiamat tentang tanggung jawab atas istri dan
anak yang dipimpin adalah ayah. Karena itu, keberadaan ayah diwaktu-waktu shalat
(terutama di jam rumah ayah) adalah sebuah keharusan dan penegasan bagi anak.
Disinilah pentingnya ayah tak hanya berpikir untuk memberikan materi bagi
keluarga. Selain peran ayah sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah juga penanggung
jawab bagi anak dan istri di dunia dan di akhirat.
Kedua, anjurkanlah anak untuk shalat
berjamaah dengan teman-temannya di rumah. Ingatkanlah anak bahwa ia akan
bertemu dengan teman-teman sepermainannya yang shalat berjamaah di masjid.
Keceriaan shalat bersama teman akan membuat anak termotivasi mendirikan shalat
di masjid tepat waktu. Akan tetapi, jangan lupa untuk mengingatkan anak untuk
tidak bercanda atau berlari-lari dalam masjid ketika shalat berjamaah sedang
berlangsung.
Ketiga, peran lingkungan untuk
menciptakan atmosfer “rajin shalat” juga sangat diperlukan. Ajaklah masjid
untuk “bersikap ramah anak”. Banyak masjid dan pengurusnya yang menganggap
anak-anak sebagai gangguan. Anak-anak selalu dihardik dan dimarahi ketika
tertawa dan berlari bahkan sebelum shalat dimulai. Diam bukanlah karakter asli
anak-anak. Anak-anak yang aktif dan ceria adalah tanda anak yang sehat dan
bahagia. Jangan terlalu banyak berharap anak akan duduk tenang dan manis ketika
berada di masjid. Biarkan mereka nyaman berada di masjid dengan karakter asli
mereka.
Bahkan, bila
mereka sudah merasa masjid adalah rumah kedua mereka, langkah untuk membuat
rajin shalat sudah jauh terlampaui. Dengan membuat masjid sebagai tempat yang
nyaman bagi anak akan mudah membuat mereka bersemangat mempelajari ilmu-ilmu
syariah dan menjalankan bersama teman-temannya.
Bila waktu shalat
tiba terutama menjelang Maghrib, ada baiknya bukan menyuruh anak masuk ke dalam
rumah, melainkan masuk ke masjid.
Tentu kita
tak akan lupa bahwa masjidlah tempat Rasulullah Saw menggembleng para sahabat
dan tempat dimana para pejuang kemerdekaan memompa semangat melawan penjajah. Maka,
adalah tnggung jawab kita bersama mengembaikan fungsi masjid sebagai sarana
keislaman dan keilmuan.
Keempat, jangan lupakan peran doa dalam
setiap usaha kita. Begitupun dengan masalah merajinkan anak shalat lima waktu.
Berdoa bagi orangtua terutama dalam memohon keteguhan anak dalam menjalankan
hal-hal yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya adalah perkara penting yang
tidak boleh ditinggalkan. Apalagi godaan setan tak hanya diperuntukkan bagi
orang dewasa tetapi juga pada anak-anak diusia mereka belum mengerti apa-apa
sekalipun. Doakan anak agar istiqomah menegakkan shalat dan ajarkan juga mereka
untuk berdoa meminta pada Allah SWT agar selalu dimudahkan dalam mengerjakan
shalat.
Ajarkan
doa Nabi Ibrahim as yang diabadikan dalam Al-Quran, “Robbiij’alnii muqimash-shalati wamin dzurriiyatii, robbana wataqobbal
du’aa (Ya Tuhan kami, jadikan aku orang yang mendirikan shalat, demikian
pula keturunanku. Ya Tuhan kami, perkenankan doa kami) Qs. Ibrahim : 40”
Kelima, ini yang paling sering sengaja
atau tidak sengaja dilakukan oleh orangtua. Jangan menuntut terlalu banyak pada
anak. Seringkali kita berharap agar anak shalat seperti apa yang telah kita
lakukan. Baik gerakan maupun bacaan shalat. Penuh lima waktu, juga di awal
waktu.
Bagi
anak, terutama yang masih berusia di bawah 10 tahun, mau mengikuti perintah
kita untuk shalat saja sudah sangat baik. Terutama bila ia sekolah hingga sore
dan masih ditambah kegiatan lain sepulang sekolah. Jangan sampai, shalat
menjadi beban berat baginya dan membuatnya tidak menyukai shalat.
Pada
usia 5 tahun, ketika anak sudah shalat sesuai waktunya, meski jumlah raka’at
dan bacaannya masih kacau, atau gerakannya belum sempurna, maka itu sudah lebih
dari cukup. Pada usia 5 tahun ini, cukup ajarkan anak membaca surat Al-fatihah
dan gerakan shalat dengan benar. Bisa juga dikenalkan nama-nama shalat 5 waktu
(bisa lewat lagu).
Setelah
berusia 6 tahun, mulai dikenalkan hitungan raka’at dalam shalat, bacaan atau doa
ruku’, dan sujud, juga hafalan surat2 pendek. Ketika anak berusia 7 tahun, bisa
mulai diajarkan do’a iftitah, i’tidal, duduk diantara 2 sujud, tahiyat awal dan
akhir, juga menambah hafalan2 surat pendeknya. Juga bisa melatih anak untuk
mulai shalat diawal waktu.
Yang
perlu diingat oleh orangtua : pada usia ini anak masih dalam tahap belajar,
belum baligh, dan secara syar’i pun anak belum memikul kewajiban untuk shalat
tepat waktu dengan benar.
Keenam, disaat anak belum baligh
inilah, kita wajib mempersiapkan aqil-nya. Yaitu, kesiapan dan kematangannya
sebelum baligh. Bila sudah baligh maka anak wajib shalat, maka diusia menjelang
baligh, 7 sampai 10 tahun, anak diberi pemahaman akan makna shalat, mengapa
perlu shalat, dan mengapa shalat wajib ditegakkan seorang Muslim.
Pemahaman
ini bisa dilakukan orangtua melalui cerita-cerita orang-orang shalih yang selalu
menegakkan shalat dan berhasil dalam hidupnya. Seperti Muhammad Al-Fatih II
yang berhasil menaklukan Konstantinopel atau Imam Bukhari dan Imam Muslim yang
berhasil meriwayatkan hadits yang dijadikan panduan kaum Muslimin sedunia dalam
mengikuti sunnah Rasulullah Saw,hingga hari ini.
Sampaikanlah
dengan gaya santai dan menyenangkan, sehingga anak lebih mudah untuk memahami
dan tidak merasa didikte. Bila anak-anak sudah memiliki pemahaman ini (aqil),
anak akan lebih mudah menjemput balighnya dengan kesiapan menjalankan perintah
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kartika Ummu Arina* (Penulis buku Jadilah Suami Istri Bijak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar